Qashash Al Qur'an dan Amtsal Al Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Alquran
merupakan kitab suci pedoman seluruh umat Islam yang memiliki mukjizat paling
besar. Oleh karena itu umat Islam perlu mengkaji lebih jauh terkait isi
kandungan Alquran sehingga akan diketahui hakekat makna dalam Alquran itu.
Untuk mengetahui kandungan Alquran itu diperlukan suatu metode keilmuan yang
dikenal dengan nama ulumul quran.
Menurut
Az-Zarqani, ulumul quran merupakan suatu bidang studi yang membahas tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran, baik dilihat dari segi
turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya,
kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang menimbulkan keraguan
terhadap Alquran dan sebagainya.
Dalam Alquran
terdapat beberapa pokok-pokok kandungan. Diantara pokok-pokok kandungan Alquran
adalah aqidah, syariah, akhlak, sejarah, iptek, dan filsafat. Sebagian orang
seperti Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Alquran menjadi dua pokok ajaran,
yaitu Akidah dan Syariah. Namun sesuai dengan tema makalah ini hanya akan
dijelaskan secara lebih rinci terkait dengan bidang sejarah.
Kandungan
Alquran tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul
Quran (kisah-kisah Alquran). Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah
jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini
memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang
memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah). Sesuai firman Allah
yang artinya: “Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.(QS Yusuf : 111)
Tamtsil merupakan
kerangka yang menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap dalam
pikiran, menyamakan hal yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan
konkret dan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Tamsil adalah salah
satu gaya Al-Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi
kemukjizatan. Dengan adanya tamtsil banyak makna yang, lebih indah , menarik
dan mempesona. Oleh karena itu, tamtsil lebih mendorong jiwa untuk menerima
makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya.
Al-Qur’an tidak
dapat disamakan dengan karangan-karangan lain yang juga berbahasa arab, karena
Al-Qur’an mempunyai bahasa yang begitu memukau. Al-Qur’an bisa menerangkan hal
yang abstrak kepada yang konkret, sehingga maksud tujuannya bisa pahami dan
dirasakan ruh dinamikanya.
Untuk
memahami itu semua maka ulama’ tafsir menganggap perlu adanya ilmu yang
menjelaskan tentang perumpamaan dalam al-Qur’an agar manusia mampu mengambil
pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah penulis
mencoba menjelaskan tentang ilmu tersebut, yaitu Ilmu Amtsal al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Qashash Al – Qur’an
A.
Pengertian Qashash Al – Qur’an
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah,
cerita, berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah,
yang diambil dari kata dasar qa sha sha.
Kata dasar qa sha sha terkadang ditampilkan
dalam konteks penyebab adanya kisah, sebagaimana firman Allah :
Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-A’raf 176)
Kata dasar tersebut kadang juga ditampilkan dalam
konteks kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana firman
Allah :
Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar… (QS. Ali ‘Imron 62)
Dari segi istilah, kisah berarti
berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa-masa yang saling
berurut-urut. Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan mengenai ihwal ummat yang
telah lalu, nubuwwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi.
Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat
kisah-kisah yang tak terkotori oleh oleh goresan pena tangan-tangan jahil dan
tidak tercampuri kisah-kisah dusta dan rekayasa. Kisah-kisahnya merupakan kisah
yang benar, yang Allah kisahkan untuk segenap manusia, sebagai cerminan dan
contoh bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Hasbi Ashiddieqy
menyatakan bahwa pengertian dari qashash adalah mencari bekasan atau mengikuti
bekasan (jejak). Lebih lanjut, beliau juga menerangkan bahwa Lafadz qashash
adalah bentuk mashdar yang berarti mencari bekasan atau jejak , dengan
memperhatikan ayat-ayat berikut ini[1]:
Ayat 64 surah al-Kahfi:
tA$s% y7Ï9ºs $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ
Artinya: “Lalu keduanya mengikuti
kembali jejak mereka sendiri”
Jadi bisa
disimpulkan, Qhashash al-Qur’an ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an yang
menceritakan hal ihwal umat-umat dahulu dan Nabi-nabi mereka serta
peristiwa-peristiwa yangg terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang
akan datang. Di dalam al-Qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah
Nabi/ para Rasul serta ihwal negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu.
B.
Macam-Macam Kisah Dalam al-Qur’an
Bila dilihat
dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’an, maka
qhashash al-Qur’an itu dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1.
Kisah hal-hal gaib pada
masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah
tidak bisa ditangkap oleh panca indera, yang terjadi di masa lampau. Seperti
kisah Nabi Nuh, Nabi Musa dan kisah Siti Maryam. Seperti yang dijelaskan dalam
al-Qur’an surah Ali Imran ayat 44:
y7Ï9ºs ô`ÏB Ïä!$t7/Rr& É=øtóø9$# ÏmÏmqçR y7øs9Î) 4 $tBur |MYä. óOÎg÷t$s! øÎ) cqà)ù=ã öNßgyJ»n=ø%r& óOßgr& ã@àÿõ3t zNtötB $tBur |MYà2 öNÎg÷ys9 øÎ) tbqßJÅÁtF÷t ÇÍÍÈ
Artinya: “Yang demikian
itu adalah sebagian dari berita berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu
(wahai Muhammad), padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka
melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang
akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi merekaketika mereka
bersengketa.”
2.
Kisah hal-hal gaib pada
masa kini, yaitu kisah yang menerangkan hal-hal gaib pada masa sekarang, (meski
sudah ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan
yang menyingkap rahasia-rahasia orang-orang munafik. Seperti kisah yang
menerangkan tentang Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin,
setan, dan siksaan neraka, kenikmatan surga, dan sebagainya. Kisah-kisah
tersebut dari dahulu sudah ada, sekarang pun masih ada dan hingga masa yang
akan datang pun masih tetap ada. Misalnya, kisah dari ayat 1-6 surah
al-Qari’ah:
èptãÍ$s)ø9$# ÇÊÈ $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇËÈ !$tBur y71u÷r& $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇÌÈ tPöqt ãbqä3t â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ $¨Br'sù ÆtB ôMn=à)rO ¼çmãZκuqtB ÇÏÈ
Artinya:”Hari kiamat,
apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu
manusia adalah seperti anai-anai yang beterbangan. Dan gunung-gunung seperti
bulu-bulu yang dihambur-hamburkan”.
3.
Kisah hal-hal gaib pada
masa yang akan datang, yaitu kisah kisah yang menceritakan peristiwa akan
datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur’an, kemudian peristiwa
tersebut betul-betul terjadi. Karena itu, pada masa sekarang ini, berarti
peristiwa yang telah dikisahkan itu telah terjadi. Seperti kemenangan bangsa
Romawi atas Persia yang diterangkan ayat 1-4 surah al-Rum. Dan seperti mimpi
Nabi bahwa beliau akan dapat masuk Masjidil Haram bersama para sahabat, dalam
keadaan sebagian mereka bercukur rambut dan yang lain tidak. Pada waktu
perjanjian Hudaibiyah, Nabi gagal masuk Makkah, sehingga diejek-ejek
orang-orang Yahudi, Nasrani dan Kaum Munafik, bahwa mimpi Nabi tersebut tidak
terlaksana. Maka turunlah ayat 27 surah al-Fath. Serta contoh jaminan Allah
terhadap keselamatan Nabi Muhammad SAW dari penganiayaan orang, meski banyak
orang yang mengancam akan membunuhnya[2].
Hal ini ditegaskan dalam ayat 67 surah al-Maidah:
* $pkr'¯»t ãAqß§9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ
Artinya: “Wahai rosul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu
kerjakan, berarti kamu tidak melaksanakan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu
dari (penganiayaan) manusia.
Menurut Manna al-Qaththan, kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:
1)
Kisah Anbiya’ yakni kisah yang mengandung
dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya,
sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya
serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan
yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan
nabi-nabi serta rasul lainnya.
2)
Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lalu dan orang-orang
yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil
dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab
al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
3)
Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali
Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah
al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain[3].
C.
Hikmah dan Tujuan Kisah
dalam al-Qur’an
Dari sudut tinjauan sastra, kisah mempunyai banyak
faedah, diantaranya: dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk terus
mengikuti peristiwa dan pelakunya. Kisah dapat mempengaruhi orang-orang
terpelajar maupun awam. Oleh karenanya tidak mengherankan banyak orang
menggandrungi cerita meski plotnya telah diketahui sekalipun.
Allah menetapkan bahwa dalam kisah orang-orang
tedahulu tedapat hikmah dan pelajaran yang bagi orang-orang yang berakal, serta
yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan hikmah dan nasihat yang ada di
dalamnya, serta menggali pelajarn dan petunjuk hidup dari kisah-kisah tersebut.
Allah juga memerintahkan kita untuk bertadabbur terhadapnya, menyuruh untuk
meneladani kisah orang-rang yang sholeh dan mushlih, serta mengambil metode mereka
dalam berdakwah dalam posisi kita sebagai makhluq dan kholfah di muka bumi ini.
Diantara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian
kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti yang disebutkan oleh Manna Khalil al-Qattan
dan Ahmad Syadali dalam buku mereka masing-masing antara lain sebagai berikut;
- Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang diajarkan oleh para Nabi.
- Meneguhkan Hati Rosulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mu’min tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancurang orang-orang yang sesat.
- Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah;
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat
diturunkan[212]. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan
sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu
orang-orang yang benar”. (QS. Ali Imran: 93),
4.
Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan
terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya,
5.
Menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya
dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di
sepanjang kurun dan generasi,
6.
Kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik
perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya ke dalam jiwa.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111).
Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama
substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub tujuan kisah Qur’ani adalah:
a.
Untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah
dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca
dan tulis,
b.
Untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para
rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah
swt dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang
Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92),
48. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat
dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.
c.
Untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber
dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan
dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang, yaitu mengungkapkan
keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73),
59. Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”
Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa
azab hari yang besar (kiamat).
65. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain
dari-Nya. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
73. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu.
unta betina Allah Ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah dia makan di bumi
Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang
karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.”
d.
Untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam
berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang
dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan
62),
e.
Untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw
dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya
terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19
dan an-Najm: 36 dan 37),
f.
Untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama
nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS.
Al-Ankabut:14-16 dan 24),
g.
Untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di
hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50),
h.
Untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para
nabi dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69,
Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2
tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75,
Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40
tentang Maryam,
i.
Sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap
godaan-godoaan setan dan manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu
bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia,
j.
Untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas
peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran
manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).
258. Apakah kamu tidak memperhatikan orang[163] yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan
mematikan”.[164]Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari
timur, Maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
259. Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: “Bagaimana
Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan
orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:
“Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia menjawab: “Saya tinggal di sini
sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di
sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum
lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang
belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah
kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian
kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana
Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
D.
Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahis
fi ‘Ulumil Quran menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisa dalam
Al-Qur’an adalah:
- Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.
- Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.
- Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
- Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan. Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan[4].
E.
Bukti Arkeologis yang Mendukung Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Banyak temuan
arkeolog yang memuat catatan-catatan kuno dan bukti-bukti geografis yang
mendukung atau sesuai dengan penuturan al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa
cerita atau kisah-kisah yang dimuat oleh al-Qur’an adalah benar adanya, karena
secara periwayatan Allah sendiri telah menjamin . Catatan tertua yang ditemukan
adalah catatan inskripsi atau naskah Ebla yang diperkirakan berumur 2500 tahun
SM. Kumpulan naskah ini digali dari sebuah tempat yang bernama Tell Mardikh,
sebelah barat Syiria, dan sekarang terdiri dari 15000 potongan lembengan tablet
dan fragmen. Lempengan ini bersama temuan-temuah di Timur Dekat, Mesir dan
Arabia dapat digunakan sebagai catatan Independen untuk membenarkan dan
menguatkan kisah-kisah dalam al-Qur’an[5].
Sayangnya,
kebanyakan temuan-temuan arkeologis tersebut banyak ditemukan oleh
lembaga-lembaga arkeologi Barat-Kristen, seperti Pontifical Biblical Institute
di Vatican, Misi Arkeolog lemabaga-lembaga AS, Perancis, Inggris dan lain
sebagainya. Meskipun penelitian mereka didasarkan atas metode ilmiah, namun
tidak diragukan lagi bahwa kepentingan mereka adalah untuk mencocokan tablet
atau lempeng arkeologis tersebut dengan kisah-kisah Injil yang mempengaruhi
mereka-baik sengaja ataupun yang tidak sengaja-telah banyak melakukan kesalahan
tafsir terhadap lempeng-lempeng tersebut dan menguntungkan kepentingan mereka[6].
Bukti sejarah
yang dapat kita lihat sampai sekarang dan masih tetap eksis adalah adalah
baitullah Ka’bah serta runtutan ritual ibadah Hajji yang dilaksanakan di
Mekkah, yang kebanyakan diambil dari kisah nabi Ibrahim dan keluarganya. Selain
itu, sudah banyak video-video yang memperlihatakan kepada kita peninggalan dari
para Nabi terdahulu, seperti penayangan “Jejak Rosul” yang dapat kita saksikan
di setiap bulan Ramadhan, serta bukti-bukti arkeolog lain yang telah banyak
ditemukan.
Fakta lain,
Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar
sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan
sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang di
identifikasikan sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang
merupakan kota-kota wilayah Nabi Luth.
Kemudian
berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai
Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat
kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya
peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba[7].
2.
Amtsal Al-Qur’an
A.
Pengertian Amtsal Al-Qur’an
Secara bahasa amtsal
adalah bentuk jama’ dari matsal yang artinya sama atau serupa, perumpamaan,
sesuatu yang menyerupai dan bandingan. Di lihat dari wazannya, kata matsal,
mitsil dan matsil sama dengan sabah, sibih dan sabih di dalam
segi lafadz maupun maknanya[8].
Sedangkan secara terminology, amtsal adalah suatu ungkapan yang dihikayatkan
dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam
perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.
Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang atau keadaan) dengan apa yang
terkandung dalam perkataan. Misalnya, رب
رمية من غير رام (betapa
banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, banyak pemanah yang
mengenai sasaraan itu dilakukan pemanah yang biasanya yang tidak tepat
lemparannya.
Menurut ahli sastra, amtsal adalah ucapan yang banyak disebutkan yang telah
biasa dikatakan orang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang
diceritakan orang dengan keadaan sesuatu yang dituju. Misalnya, firman Allah
dalam surat al-Hasyr ayat 2, yang artinya “...itulah perumpamaan yang kami buat
bagi manusia agar meraka berpikir”. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, amtsal
adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan
mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan indrawi (kongkret) atau
mendekatakan salah satu dari dua makhsus dengan yang lain dan menganggap salah
satu satunya sebagai yang lain. Kemudian Ibnu Qayyim mengemukakan contoh-contoh
yang sebagian besar berupa tasybih sharih (perumpamaan secara langsung),
seperti firman Allah dalam surat Yunus:24:
$yJ¯RÎ) ã@sWtB Ío4qu9ysø9$# $u9÷R 09$# >ä!$yJx. çm»uZø9t Rr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$#
“sesungguhnya
masal kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari
langit”. Sebagian lagi berupa tasybih dhimmi (penyerupaan secara
tidak langsung). Seperti contoh,
xwur =tGøót Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtä r& óOà2ß0tnr& br& x@à2ù't zNóss9 Ïm`Åzr& $\Gø`tB çnqßJçF÷dÌs3sù 4
“dan
janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu merasa jijik kepadanya”
(al-Hujarat: 12).
Menurut ulama tafsir, matsal adalah menampakkan pengertian abstrak dalam
ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang tertancap di dalam jiwa, baik
dengan betuk tasybih (penyerupaan) maupun majaz mursal (ungkapan
bebas).
Ulama ahli bayan, memberikan definisi amtsal adalah bentuk majaz murakkab yang
kaitannya atau konteksnya adalah persamaan. Maksudnya, amtsal adalah ungkapan
kiasan yang majemuk, dimana kaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah
karena adanya persamaan.
B.
Macam-macam Amtsal Al-Qur’an
Secara garis
besar, amtsal al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama perumpamaan yang
disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqaan
menyebutnya sebagai matsal zhahir musharrah bih. Sedangkan yang kedua
disebutkan secara tersirat (matsal kaamin). Namun apabila diamati secara
seksama maka amtsal al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Al-amtsal
al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang jelas yang
di dalamnya terdapat lafazh matsal atau lafazh lain yang menunjukkan
arti persamaan atau perumpamaan. Amtsal jenis ini banyak terdapat dalam
al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan
keuntungan besar bagi orang-orang yang mau berinfak dengan menyamakannya
terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang kelak menghasilkan 700 butir
biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan hasil tanaman pada ayat ini
jelas menggunakan lafazh matsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ…). Dalam ayat ini
yang disamakan adalah keuntungan.
2.
Al-amtsal al-kaaminah, yaitu
perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau
sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan
singkat. Makna amtsal seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan
kepada hal yang menyerupainya[9].
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal
al-kaaminah al-Qur’an itu sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan
terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu
perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis ini merupakan perumpamaan
maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal
al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan yang disebutkan orang Arab yang
berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya
perkara adalah tengah-tengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari
beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:
·
Surat al-Baqarah ayat
68:
…إِنَّهَا
بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya:
“…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda;
pertengahan antara itu…”
·
Surat al-Furqan ayat
67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.”
·
Surat al-Israa’ ayat
29:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى
عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
·
Surat al-Israa’ ayat
110:
…وَلَا
تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Artinya:
“…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Begitu
juga masih banyak ungkapan orang-orang arab yang merupakan hasil perumpamaan
al-Qur’an.
3.
Al-amtsal al-mursalah, yaitu
beberapa jumlah kalimat yang bebas yang tidak jelas tanpa menggunakan lafazh tasybih.
Al-amtsal al-mursalah ini adalah beberapa ayat al-Qur’an yang berlaku
sebagai perumpamaan. Contohnya seperti dalam surat Yusuf ayat 51:
…قَالَتِ
امْرَأَةُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ…الأية
Artinya:
“…Berkata isteri Al-Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu…”
Begitu juga pada surat al-Baqarah
ayat 216:
…وَعَسَى
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا
وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ…الأية
Artinya:
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu…”
C.
Fungsi dan Tujuan Amtsal Al-qur’an
Dengan adanya amtsal Al-qur’an kaum muslimin lebih mudah memahami kandungan
al-qur’an. Hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
1)
Pengungkapan
pengertrian abstrak dengan bentuk kongkret yang dapat di tangkap indera, itu
mendorong akal manusia dapat memahami ajaran-ajaran al-qur’an. Karena,
pengertian abstrak tidak mudah di serap oleh sanubari, kecuali setelah
digambarkan dengan hal-hal yang konkret sehingga mudah di cerna.
2)
Matsal
Al-qur’an dapat mengungkapkan kenyataan dan mengonkretkan sesuatu yang abstrak.
Sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang mengumpamakan
oarng-orang pemakan riba yang di tipu oleh hawa nafsunya, yang di serupakan
dengan yang sempoyongan karena kemasukan setan.
3)
Dapat
mengumpulkan makna indah lagi menarik dalam ungkapannya yang singkat dan padat.
Seperti dalam surat al-Mu’minun ayat 53.
4)
Mendorong orang giat beramal melakukan hal-hal yang
dijadikan perumpamaan yang menarik dalam Al-qur’an. Seperti firman Allah
mengenai orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah akan diberikan
kebaikan yang banyak, hal itu terdapat dalam surat al-Baqaroh ayt 261
5)
Menghindarkan
orang dari perbuatan yang tercela yang dijadikan perumpamaan dalam al-qur’an,
setelah dipahami kejelekan perbuatan tersebut. Seperti Allah melarang
bergunjing, yang terdapat dalam surat al-Hujurot ayat 12
6)
Memuji
orang yang di beri matsal, seperti Allah memuji para sahabat, yang terdapat
dalam surat al-Fath ayat 29
7)
Untuk
menggambarkan dengan matsal itu sesuatu yang mempunyai sifat yang di pandang
buruk oleh banyak orang. Misalnya tentang keadaan yang dikaruniai kitab Allah
tetapi ia tersesat tidak mengamalkannya (al-A’raf ayat 175-176)
8)
Amtsal
lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat
dalam memberikan peringatan dan dapat memuaskan hati. Misalnya surat az-Zumar
ayat 27.
KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas kita
dapat mengambil beberapa kesimpulan diantaranya:
- Al Quran merupakan kitab suci umat Islam dan manusia seluruh alam yang tidak dapat diragukan kebenarannya dan berlaku sepanjang zaman, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
- Sebagian isi kandungan dalam Al Quran kebanyakan memuat tentang qashas (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).
- Qashashul quran adalah kabar-kabar dalam Alquran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
- Tujuan kisah Alquran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.
- Karakteristik kisah al qur’an adalah Al qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis) dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar.
- Faedah kisah dalam Alquran adalah untuk dakwah menegakkan kalimat tauhid, membantah kebohongan kaum kafir serta menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam.
- Amtsal al-Qur’an adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas).
- Macam-macam amtsal ada tiga, yaitu: amtsal mursalah, amtsal kaminah dan amtsal mursalah.
- Faedah mempelajari amtsal al-Qur’an yang terpenting adalah mendorong manusia untuk melakukan amal ibadah dan mencegahnya melakukan hal-hal yang dibenci oleh agama serta menggambarkan hal-hal abstrak dengan hal-hal yang nyata agar pemahamannya semakin mantap dalam hati manusia.. Tujuannya agar manusia mengambil pelajaran dari al-Qur’an dengan mengambil hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk demi mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
10. Pengungkapan pengertrian abstrak dengan
bentuk kongkret yang dapat di tangkap indera, itu mendorong akal manusia dapat
memahami ajaran-ajaran al-qur’an. Karena, pengertian abstrak tidak mudah di
serap oleh sanubari, kecuali setelah digambarkan dengan hal-hal yang konkret
sehingga mudah di cerna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an
digital
Al-Qattan, Manna Khalil, 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an Terj. Mudzakir AS, Jakarta: Litera Antar Nusa
Al-Qattan,
Manna Khalil, 2004. Studi Ilmu-ilmu
al-Quran, terj Mabahis fi Ulumul Qur’an oleh As Mudzakir cet. 8, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa
Ash
Shiddieqy, M. Hasbi, 1972. Ilmu-ilmu
al-Qur’an; Media Pokok Dalam Penafsiran
al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang
Karman M, Supiana, 2002. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika
Shihab,
Quraish, 1998. Mu’jizat Al-Qur’an,
Bandung: Mizan
[1] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an; Media Pokok Dalam
Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) h. 32
[3] Manna Khalil al-Qattan, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2006) h. 87-88
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj Mabahis
fi Ulumul Qur’an oleh Mudzakir As, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa cet. 8,
2004) h. 84
[9]
Manna Khalil al-Qattan, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
h.206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar