Senin, 02 November 2015

QASHASH AL QUR’AN DAN AMTSAL AL QUR’AN

Oleh: Yudistira Abdi Pane SE.I
          Qashash Al Qur'an dan Amtsal Al Qur'an




BAB I
PENDAHULUAN
Alquran merupakan kitab suci pedoman seluruh umat Islam yang memiliki mukjizat paling besar. Oleh karena itu umat Islam perlu mengkaji lebih jauh terkait isi kandungan Alquran sehingga akan diketahui hakekat makna dalam Alquran itu. Untuk mengetahui kandungan Alquran itu diperlukan suatu metode keilmuan yang dikenal dengan nama ulumul quran.
Menurut Az-Zarqani, ulumul quran merupakan suatu bidang studi yang membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Alquran, baik dilihat dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang menimbulkan keraguan terhadap Alquran dan sebagainya.
Dalam Alquran terdapat beberapa pokok-pokok kandungan. Diantara pokok-pokok kandungan Alquran adalah aqidah, syariah, akhlak, sejarah, iptek, dan filsafat. Sebagian orang seperti Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Alquran menjadi dua pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah. Namun sesuai dengan tema makalah ini hanya akan dijelaskan secara lebih rinci terkait dengan bidang sejarah.
Kandungan Alquran tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah Qashashul Quran (kisah-kisah Alquran). Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat yang berbicara tentang hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah). Sesuai firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.(QS Yusuf : 111)
Tamtsil merupakan kerangka yang menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap dalam pikiran, menyamakan hal yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak dengan konkret dan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Tamsil adalah salah satu gaya Al-Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatan. Dengan adanya tamtsil banyak makna yang, lebih indah , menarik dan mempesona. Oleh karena itu, tamtsil lebih mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas dengannya.
Al-Qur’an tidak dapat disamakan dengan karangan-karangan lain yang juga berbahasa arab, karena Al-Qur’an mempunyai bahasa yang begitu memukau. Al-Qur’an bisa menerangkan hal yang abstrak kepada yang konkret, sehingga maksud tujuannya bisa pahami dan dirasakan ruh dinamikanya.
Untuk memahami itu semua maka ulama’ tafsir menganggap perlu adanya ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam al-Qur’an agar manusia mampu mengambil pelajaran dengan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Karena itulah penulis mencoba menjelaskan tentang ilmu tersebut, yaitu Ilmu Amtsal al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Qashash Al – Qur’an
A.    Pengertian Qashash Al – Qur’an
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah, cerita, berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang diambil dari kata dasar qa sha sha.
Kata dasar qa sha sha terkadang ditampilkan dalam konteks penyebab adanya kisah, sebagaimana firman Allah :
Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-A’raf 176)
Kata dasar tersebut kadang juga ditampilkan dalam konteks kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana firman Allah :
Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar… (QS. Ali ‘Imron 62)
Dari segi istilah, kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa-masa yang saling berurut-urut. Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan mengenai ihwal ummat yang telah lalu, nubuwwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat kisah-kisah yang tak terkotori oleh oleh goresan pena tangan-tangan jahil dan tidak tercampuri kisah-kisah dusta dan rekayasa. Kisah-kisahnya merupakan kisah yang benar, yang Allah kisahkan untuk segenap manusia, sebagai cerminan dan contoh bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Hasbi Ashiddieqy menyatakan bahwa pengertian dari qashash adalah mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Lebih lanjut, beliau juga menerangkan bahwa Lafadz qashash adalah bentuk mashdar yang berarti mencari bekasan atau jejak , dengan memperhatikan ayat-ayat berikut ini[1]:
Ayat 64 surah al-Kahfi:
tA$s% y7Ï9ºsŒ $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ  
Artinya: “Lalu keduanya mengikuti kembali jejak mereka sendiri”
Jadi bisa disimpulkan, Qhashash al-Qur’an ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an yang menceritakan hal ihwal umat-umat dahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yangg terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Di dalam al-Qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi/ para Rasul serta ihwal negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu.
B.     Macam-Macam Kisah Dalam al-Qur’an
Bila dilihat dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’an, maka qhashash al-Qur’an itu dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1.      Kisah hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap oleh panca indera, yang terjadi di masa lampau. Seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Musa dan kisah Siti Maryam. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 44:
y7Ï9ºsŒ ô`ÏB Ïä!$t7/Rr& É=øtóø9$# ÏmŠÏmqçR y7øs9Î) 4 $tBur |MYä. óOÎg÷ƒt$s! øŒÎ) šcqà)ù=ムöNßgyJ»n=ø%r& óOßgƒr& ã@àÿõ3tƒ zNtƒötB $tBur |MYà2 öNÎg÷ƒys9 øŒÎ) tbqßJÅÁtF÷tƒ ÇÍÍÈ 
Artinya: “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (wahai Muhammad), padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi merekaketika mereka bersengketa.”
2.      Kisah hal-hal gaib pada masa kini, yaitu kisah yang menerangkan hal-hal gaib pada masa sekarang, (meski sudah ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap rahasia-rahasia orang-orang munafik. Seperti kisah yang menerangkan tentang Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, dan siksaan neraka, kenikmatan surga, dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut dari dahulu sudah ada, sekarang pun masih ada dan hingga masa yang akan datang pun masih tetap ada. Misalnya, kisah dari ayat 1-6 surah al-Qari’ah:
èptãÍ$s)ø9$# ÇÊÈ   $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇËÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB èptãÍ$s)ø9$# ÇÌÈ   tPöqtƒ ãbqä3tƒ â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$Ÿ2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ   ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ   $¨Br'sù ÆtB ôMn=à)rO ¼çmãZƒÎºuqtB ÇÏÈ  
Artinya:”Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang beterbangan. Dan gunung-gunung seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan”.
3.      Kisah hal-hal gaib pada masa yang akan datang, yaitu kisah kisah yang menceritakan peristiwa akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-Qur’an, kemudian peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Karena itu, pada masa sekarang ini, berarti peristiwa yang telah dikisahkan itu telah terjadi. Seperti kemenangan bangsa Romawi atas Persia yang diterangkan ayat 1-4 surah al-Rum. Dan seperti mimpi Nabi bahwa beliau akan dapat masuk Masjidil Haram bersama para sahabat, dalam keadaan sebagian mereka bercukur rambut dan yang lain tidak. Pada waktu perjanjian Hudaibiyah, Nabi gagal masuk Makkah, sehingga diejek-ejek orang-orang Yahudi, Nasrani dan Kaum Munafik, bahwa mimpi Nabi tersebut tidak terlaksana. Maka turunlah ayat 27 surah al-Fath. Serta contoh jaminan Allah terhadap keselamatan Nabi Muhammad SAW dari penganiayaan orang, meski banyak orang yang mengancam akan membunuhnya[2]. Hal ini ditegaskan dalam ayat 67 surah al-Maidah:
* $pkšr'¯»tƒ ãAqß§9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ  
Artinya: “Wahai rosul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak kamu kerjakan, berarti kamu tidak melaksanakan risalah-Nya. Allah akan menjaga kamu dari (penganiayaan) manusia.
Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:
1)      Kisah Anbiya yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
2)      Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
3)      Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain[3].

C.     Hikmah dan Tujuan Kisah dalam al-Qur’an
Dari sudut tinjauan sastra, kisah mempunyai banyak faedah, diantaranya: dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk terus mengikuti peristiwa dan pelakunya. Kisah dapat mempengaruhi orang-orang terpelajar maupun awam. Oleh karenanya tidak mengherankan banyak orang menggandrungi cerita meski plotnya telah diketahui sekalipun.
Allah menetapkan bahwa dalam kisah orang-orang tedahulu tedapat hikmah dan pelajaran yang bagi orang-orang yang berakal, serta yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan hikmah dan nasihat yang ada di dalamnya, serta menggali pelajarn dan petunjuk hidup dari kisah-kisah tersebut. Allah juga memerintahkan kita untuk bertadabbur terhadapnya, menyuruh untuk meneladani kisah orang-rang yang sholeh dan mushlih, serta mengambil metode mereka dalam berdakwah dalam posisi kita sebagai makhluq dan kholfah di muka bumi ini.
Diantara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti yang disebutkan oleh Manna Khalil al-Qattan dan Ahmad Syadali dalam buku mereka masing-masing antara lain sebagai berikut;
  1. Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang diajarkan oleh para Nabi.
  2. Meneguhkan Hati Rosulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mu’min tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancurang orang-orang yang sesat.
  3. Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah;
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan[212]. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Ali Imran: 93),
4.      Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya,
5.      Menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi,
6.      Kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111).
Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub  tujuan kisah Qur’ani adalah:
a.       Untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis,
b.      Untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah swt   dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92),
48. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.
c.       Untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang,  yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73),
59. Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).
65. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
73. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. unta betina Allah Ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.”
d.      Untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan 62),
e.       Untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19 dan an-Najm: 36 dan 37),
f.       Untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS. Al-Ankabut:14-16 dan 24),
g.      Untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50),
h.      Untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para nabi  dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69, Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2 tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75, Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40 tentang Maryam,
i.        Sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap godaan-godoaan setan dan  manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia,
j.        Untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).
258.  Apakah kamu tidak memperhatikan orang[163] yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.[164]Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
259.  Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


D.    Hikmah Diulang-Ulangnya Kisah Dalam al-Qur’an
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahis fi ‘Ulumil Quran menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisa dalam Al-Qur’an adalah:
  • Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.
  • Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.
  • Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
  • Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan. Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan[4].
E.     Bukti Arkeologis yang Mendukung Kisah-kisah dalam Al-Qur’an
Banyak temuan arkeolog yang memuat catatan-catatan kuno dan bukti-bukti geografis yang mendukung atau sesuai dengan penuturan al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa cerita atau kisah-kisah yang dimuat oleh al-Qur’an adalah benar adanya, karena secara periwayatan Allah sendiri telah menjamin . Catatan tertua yang ditemukan adalah catatan inskripsi atau naskah Ebla yang diperkirakan berumur 2500 tahun SM. Kumpulan naskah ini digali dari sebuah tempat yang bernama Tell Mardikh, sebelah barat Syiria, dan sekarang terdiri dari 15000 potongan lembengan tablet dan fragmen. Lempengan ini bersama temuan-temuah di Timur Dekat, Mesir dan Arabia dapat digunakan sebagai catatan Independen untuk membenarkan dan menguatkan kisah-kisah dalam al-Qur’an[5].
Sayangnya, kebanyakan temuan-temuan arkeologis tersebut banyak ditemukan oleh lembaga-lembaga arkeologi Barat-Kristen, seperti Pontifical Biblical Institute di Vatican, Misi Arkeolog lemabaga-lembaga AS, Perancis, Inggris dan lain sebagainya. Meskipun penelitian mereka didasarkan atas metode ilmiah, namun tidak diragukan lagi bahwa kepentingan mereka adalah untuk mencocokan tablet atau lempeng arkeologis tersebut dengan kisah-kisah Injil yang mempengaruhi mereka-baik sengaja ataupun yang tidak sengaja-telah banyak melakukan kesalahan tafsir terhadap lempeng-lempeng tersebut dan menguntungkan kepentingan mereka[6].
Bukti sejarah yang dapat kita lihat sampai sekarang dan masih tetap eksis adalah adalah baitullah Ka’bah serta runtutan ritual ibadah Hajji yang dilaksanakan di Mekkah, yang kebanyakan diambil dari kisah nabi Ibrahim dan keluarganya. Selain itu, sudah banyak video-video yang memperlihatakan kepada kita peninggalan dari para Nabi terdahulu, seperti penayangan “Jejak Rosul” yang dapat kita saksikan di setiap bulan Ramadhan, serta bukti-bukti arkeolog lain yang telah banyak ditemukan.
Fakta lain, Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang di identifikasikan sebagai bangsa ‘Ad dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang di identifikasikan sebagai kota-kota palin, Sodom dan Gomorah yang merupakan kota-kota wilayah Nabi Luth.
Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk di deteksi sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba[7].









2.      Amtsal Al-Qur’an
A.    Pengertian Amtsal Al-Qur’an
Secara bahasa amtsal adalah bentuk jama’ dari matsal yang artinya sama atau serupa, perumpamaan, sesuatu yang menyerupai dan bandingan. Di lihat dari wazannya, kata matsal, mitsil dan matsil sama dengan sabah, sibih dan sabih di dalam segi lafadz maupun maknanya[8].
            Sedangkan secara terminology, amtsal adalah suatu ungkapan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang atau keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan. Misalnya, رب رمية من غير رام (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, banyak pemanah yang mengenai sasaraan itu dilakukan pemanah yang biasanya yang tidak tepat lemparannya.
Menurut ahli sastra, amtsal adalah ucapan yang banyak disebutkan yang telah biasa dikatakan orang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan orang dengan keadaan sesuatu yang dituju. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 2, yang artinya “...itulah perumpamaan yang kami buat bagi manusia agar meraka berpikir”. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan indrawi (kongkret) atau mendekatakan salah satu dari dua makhsus dengan yang lain dan menganggap salah satu satunya sebagai yang lain. Kemudian Ibnu Qayyim mengemukakan contoh-contoh yang sebagian besar berupa tasybih sharih (perumpamaan secara langsung), seperti firman Allah dalam surat Yunus:24:
$yJ¯RÎ) ã@sWtB Ío4qu9ysø9$# $u9÷R 09$# >ä!$yJx. çm»uZø9t Rr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$#
            “sesungguhnya masal kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit”. Sebagian lagi berupa tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak langsung). Seperti contoh,
xwur =tGøót Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtä r& óOà2ß0tnr& br& x@à2ù't zNóss9 Ïm`Åzr& $\Gø`tB çnqßJçF÷d̍s3sù 4
            “dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu merasa jijik kepadanya” (al-Hujarat: 12).

            Menurut ulama tafsir, matsal adalah menampakkan pengertian abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang tertancap di dalam jiwa, baik dengan betuk tasybih (penyerupaan) maupun majaz mursal (ungkapan bebas).
            Ulama ahli bayan, memberikan definisi amtsal adalah bentuk majaz murakkab yang kaitannya atau konteksnya adalah persamaan. Maksudnya, amtsal adalah ungkapan kiasan yang majemuk, dimana kaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah karena adanya persamaan.  
B.     Macam-macam Amtsal Al-Qur’an
Secara garis besar, amtsal al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama perumpamaan yang disebutkan secara jelas dan tegas. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqaan menyebutnya sebagai matsal zhahir musharrah bih. Sedangkan yang kedua disebutkan secara tersirat (matsal kaamin). Namun apabila diamati secara seksama maka amtsal al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Al-amtsal al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang jelas yang di dalamnya terdapat lafazh matsal atau lafazh lain yang menunjukkan arti persamaan atau perumpamaan. Amtsal jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an.  Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang kelak menghasilkan 700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazh matsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ…). Dalam ayat ini yang disamakan adalah keuntungan.
2.      Al-amtsal al-kaaminah, yaitu perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan singkat. Makna amtsal seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan kepada hal yang menyerupainya[9].
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah al-Qur’an itu sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan yang disebutkan orang Arab yang berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:
·         Surat al-Baqarah ayat 68:
إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu…”
·         Surat al-Furqan ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
·         Surat al-Israa’ ayat 29:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
·         Surat al-Israa’ ayat 110:
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Artinya: “…Katakanlah: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Begitu juga masih banyak ungkapan orang-orang arab yang merupakan hasil perumpamaan al-Qur’an.
3.      Al-amtsal al-mursalah, yaitu beberapa jumlah kalimat yang bebas yang tidak jelas tanpa menggunakan lafazh tasybih. Al-amtsal al-mursalah ini adalah beberapa ayat al-Qur’an yang berlaku sebagai perumpamaan. Contohnya seperti dalam surat Yusuf ayat 51:
قَالَتِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ…الأية
Artinya: “…Berkata isteri Al-Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu…”
Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 216:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ…الأية
Artinya: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu…”
C.     Fungsi dan Tujuan Amtsal Al-qur’an
       Dengan adanya amtsal Al-qur’an kaum muslimin lebih mudah memahami kandungan al-qur’an. Hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
1)      Pengungkapan pengertrian abstrak dengan bentuk kongkret yang dapat di tangkap indera, itu mendorong akal manusia dapat memahami ajaran-ajaran al-qur’an. Karena, pengertian abstrak tidak mudah di serap oleh sanubari, kecuali setelah digambarkan dengan hal-hal yang konkret sehingga mudah di cerna.
2)      Matsal Al-qur’an dapat mengungkapkan kenyataan dan mengonkretkan sesuatu yang abstrak. Sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang mengumpamakan oarng-orang pemakan riba yang di tipu oleh hawa nafsunya, yang di serupakan dengan yang sempoyongan karena kemasukan setan.
3)      Dapat mengumpulkan makna indah lagi menarik dalam ungkapannya yang singkat dan padat. Seperti dalam surat al-Mu’minun ayat 53.
4)      Mendorong orang giat beramal melakukan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam Al-qur’an. Seperti firman Allah mengenai orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah akan diberikan kebaikan yang banyak, hal itu terdapat dalam surat al-Baqaroh ayt 261
5)      Menghindarkan orang dari perbuatan yang tercela yang dijadikan perumpamaan dalam al-qur’an, setelah dipahami kejelekan perbuatan tersebut. Seperti Allah melarang bergunjing, yang terdapat dalam surat al-Hujurot ayat 12
6)      Memuji orang yang di beri matsal, seperti Allah memuji para sahabat, yang terdapat dalam surat al-Fath ayat 29
7)      Untuk menggambarkan dengan matsal itu sesuatu yang mempunyai sifat yang di pandang buruk oleh banyak orang. Misalnya tentang keadaan yang dikaruniai kitab Allah tetapi ia tersesat tidak mengamalkannya (al-A’raf ayat 175-176)
8)      Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan dapat memuaskan hati. Misalnya surat az-Zumar ayat 27.


KESIMPULAN
            Dari uraian makalah di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan diantaranya:
  1. Al Quran merupakan kitab suci umat Islam dan manusia seluruh alam yang tidak dapat diragukan kebenarannya dan berlaku sepanjang zaman, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
  2. Sebagian isi kandungan dalam Al Quran kebanyakan memuat tentang qashas (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).
  3. Qashashul quran adalah kabar-kabar dalam Alquran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
  4. Tujuan kisah Alquran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.
  5. Karakteristik kisah al qur’an adalah Al qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis) dan tidak pula memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar.
  6. Faedah kisah dalam Alquran adalah untuk dakwah menegakkan kalimat tauhid, membantah kebohongan kaum kafir serta menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam.
  7. Amtsal al-Qur’an adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas).
  8. Macam-macam amtsal ada tiga, yaitu: amtsal mursalah, amtsal kaminah dan amtsal mursalah.
  9. Faedah mempelajari amtsal al-Qur’an yang terpenting adalah mendorong manusia untuk melakukan amal ibadah dan mencegahnya melakukan hal-hal yang dibenci oleh agama serta menggambarkan hal-hal abstrak dengan hal-hal yang nyata agar pemahamannya semakin mantap dalam hati manusia.. Tujuannya agar manusia mengambil pelajaran dari al-Qur’an dengan mengambil hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk demi mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
10.  Pengungkapan pengertrian abstrak dengan bentuk kongkret yang dapat di tangkap indera, itu mendorong akal manusia dapat memahami ajaran-ajaran al-qur’an. Karena, pengertian abstrak tidak mudah di serap oleh sanubari, kecuali setelah digambarkan dengan hal-hal yang konkret sehingga mudah di cerna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an digital
Al-Qattan, Manna Khalil, 2006. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an Terj. Mudzakir AS,   Jakarta: Litera Antar Nusa
Al-Qattan, Manna Khalil, 2004. Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj Mabahis fi Ulumul Qur’an oleh As Mudzakir cet. 8, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, 1972. Ilmu-ilmu al-Qur’an; Media Pokok Dalam Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang
Karman M, Supiana, 2002. Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika
Shihab, Quraish, 1998. Mu’jizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan




 

 




[1] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an; Media Pokok Dalam Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) h. 32
[2] Quraish Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998) h. 56
[3] Manna Khalil al-Qattan, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006) h. 87-88
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj Mabahis fi Ulumul Qur’an oleh Mudzakir As, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa cet. 8, 2004) h. 84
[8] Supiana dan Karman M. Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika. 2002), h.253

[9] Manna Khalil al-Qattan, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h.206