Oleh: Yudistira Abdi Pane
PENGERTIAN,
SEJARAH, DAN RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM
A.
Pengertian Ekonomi Islam
Menurut
beberapa ahli ekonomi Islam, pengertian ekonomi islam sebgai berikut:
1.
Menurut
Hasanuzzaman, ekonomi islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan
syariah yang mencegah ketidakadilan dalam meperoleh dan menggunakan sumber daya
material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan
kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.[1]
2.
Menurut
Muhammad Abdul Mannan, ekonomi islam adalah ilmu social yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai islam.
3.
Menurut
Nejatullah Ash-Shiddiqi, ekonomi islam adalah tanggapan pemikir-pemikir muslim
terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Dimana dalam upaya ini mereka dibantu
oleh Al Quran dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan pengalaman empiris.[2]
4.
Menurut Yusuf
Qardhawi adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari
Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari
syari’at Allah.
5.
Menurut Umer
Chapra, ekonomi islam adalah cabang ilmu pengetahuan yang membantu
mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber sumber daya langka sesuai dengan al–‘iqtisad al–syariah atau
tujuan ditetapkan syariah, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan,
menimbulkan ketidakseimbngan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan
keluarga dan solodaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat.[3]
Berbagai ahli
ekonomi muslim memberikan defenisi ekonomi islam yang bervariasi, tetapi
dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi islam adalah suatu
cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan
akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang
islami. Yang dimaksudkan dengan cara-cara islami disini adalah cara-cara yang
didasarkan atas ajaran agama islam, yaitu AlQur’an dan Sunnah Nabi. Dengan
pengertian seperti ini istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomi islam.
Ekonomi
merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kaffah dalam
aspek ekonomi. Oleh karena itu, perekonomian islam merupakan suatu tatanan
perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran islam yang diharapkan, yang
belum tentu tercermin pada perilaku masyarakat muslim yang ada pada saat ini.
B.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
1.
Periode di Masa
Rasulullah Saw (571-632 M)
Kehidupan
Rasulullah Saw dan masyarakat muslim di masa beliau adalah teladan yang paling
baik implementasi islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa
sebelum kenabian Muhammad Saw adalah seseorang pebinis, tetapi yang dimaksudkan
perekonomian di Rasulullah disini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah
Masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh
dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang
Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun
masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun
perekonomian pada masa beliau relative masih sederhana, tetapi beliau telah
menunjukkan prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari
perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan
norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah islam,
sementara sumber daya ekonomi boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan
harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting
sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan mayarakat juga bertindak aktif
dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.[4]
Sebagaimana
pada masyarakat arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk madinah
adalah bardagang, sebagian yang lain bertani, beternak, dan berkebun. Berbeda
dengan Makkah yang gersang sebagian tanah di Madinah relative subur sehingga
pertanian , peternakan, dan perkebunan dapat dilakukan di kota ini. Kegiatan
ekonomi pasar relative menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar
mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas islam Rasulullah
mendirikan al- hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai
pengawas pasar. Rasulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang
bertindak sebagai pengelola keuangan Negara. Baitul Maal ini memegang peranan
yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang
bertujuan untuk kesajahteraan masyarakat.
Rasulullah Saw
mengawali pembangunan Madinah dengan tanpa sumber keuangan yang pasti,
sementara distribusi kekayaan juga timpang. Kaum Muhajirin tidak memilki
kekayaan karena mereka telah meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Oleh
Karena itu, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar sehingga
dengan sendirinya terjadi redistribusi kekayaan. Kebijakan ini sangat penting
sebagai strategi awal pembangunan Madinah. Selanjutnya untuk memutar roda
perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha diantara anggota masyarakat
(misalnya muzaraah, mudharabah, musaqa, dan lain-lain) sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Namun, sejalan dengan perkembangan sumber penerimaan
Negara juga meningkat. Sumber pemasukan Negara berasal dari beberapa sumber,
tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr.[5]
Secara garis besar pemasukan Negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat
islam sendiri, non-Muslim, dan umum sebagai mana table di bawah ini:
Sumber-sumber
Pendapatan pada Masa Rasulullah Saw
Dari Kaum Muslim
|
Dari Kaum non-Muslim
|
Umum
|
1.
Zakat
2.
Ushr
(5-10%)
3.
Ushr
(2,5%)
4.
Zakat
Fitrah
5.
Wakaf
6.
Amwal
Fadila
7.
Nawaib
8.
Shadaqah
yang lain
9.
Khumus
|
Jiyah
Kharaj
Ushar
|
Ghanimah
Fay
Uang Tebusan
Pinjaman dari kaum Muslim atau
non Muslim
Hadiah dari pimpinan atau
pemerintah Negara lain
|
Sumbe: Sabzwari, 1984
2.
Periode di masa
Khulafaurrasyidin
Para
khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad Saw karenanya
kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan
dasar-dasar yang dibangun Rasulullah Saw. Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq
(51 SH – 13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat,
sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau
membangun lagi Baitul maal dan meneruskan system pendistribusian harta untuk
rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. Beliau juga mulai mempelopori
system penggajian bagi aparat Negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji
amat sedikit yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari baitul Maal.
Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga diterapkan 2000 atau 2500 dirham
dan menurut keterangan lain 6000 dirham pertahun. [6]
Khalifah
kedua, Umar bun Khattab (40 SH – 23 H/584-644 M) di pandang paling banyak
melakukan inovasi dalam perekonomian. Umar bin Khatab menyadari pentingnya
sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah
besar pengembangan bidang ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah pertanian
kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun dengan ketentuan, siapa yang
gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya
atas tanah tersebut. Saluran irigasi terbentang hingga di daerah-daerah
taklukan dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-wauk,
tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serba guna kelancaran dan
ditribusi air.
Pada masa
umar, hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian
secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak
perdagangan nabati dan kurma syiria sebesar 50%.[7]
Hal ini akan memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat
yang sama, juga dibangun pasar-pasar, termasuk didaerah pedalaman seperti
Ubulla, yaman, damskus, Makkah, dan Bahrain. Pecan-pekan dagang berkedudukan
penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Beberapa pecan dagang yang
menonjol adalah pecan dagang ‘Ukaz yang berada di Hijaz yang berdekatan dengan
Sukar dan lainnya. Pekan dagang itu berlangsung pada 1-20 Dzulkaidah.
Permasalahan
ekonomi di masa Khalifah Usman bin Affan (47 SH – 35 H/577-656 M) semakin
rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah Negara Islam. Pemasukan dari
zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama
kepemimpinannya Balkh, Kabul, Ghazni,
Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk pendapatan baru, kebijakan umar
dituruti. Tidak lama, islam mengakui empat kontrak dagang setelah Negara-negara
tersebut ditaklukan kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka
pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon,
buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan
organisasi kepolisian tetap.[8]
Ali bin Abi
Thalib (23 SH – 40 H/600-661 M) khalifah yang keempat ini terkenal sangat
sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi
banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, ali harus mengelola
perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar
penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan
5000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan
Negara. Salah satu upayanya yan monumental adalah pencetakan mata uang sendiri
atas nama pemerintahaan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan
uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.[9]
3.
Fase Pertama
a.
Zaid bin Ali
(80-120 H/699-738 M)
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang
paling terkenal di madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah.
Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan
suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari pada
harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan
selamatransaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah
pihak.
Pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh para pedagang dari
penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah
perniagaan dan tidak termasuk riba. Penjualan yang dilakukan secara kredit
merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar.
Engan demikian, bentuk penjualan seperti ini bukan suatu tindakan diluar
kebutuhan. Keuntungan yang diperoleh dari pedagang yang menjual secara kredit
merupakan sebuah bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang
dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan
dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Dalam hal ini peminjam memperoleh
suatu asset yakni uang yang harganya tidak mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, karena uang itu sendiri adalah sebagai standar harga. Dengan kata lain,
uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat
menghasilkan jika dan hanya jika melalui perniagaan dan pertukaran dengan
barant-barang yang harganya sering berfluktuatif.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bahwa dalam
syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri,
tidak dihubungkan dengan akad yang lain. Akad jual beli yang pembayarannya
ditangguhkan adalah suatu akad tersendiri dan memilki hak sendiri untuk diperiksa
apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkannya dengan akad lain. Dengan kata
lain, diketemukan fakta bahwa dalam suatu kontrak terpisah, harga yang dibayar
tunai lebih rendah, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan akad jual beli kredit
dengan pembayaran yang lebih tinggi, karena kedua akad tersebut independent dan
berbeda satu sama lain.[10]
b.
Abu Hanifah
(80-150 H/699-767 M)
Abu Hanifah merupakan seorang fukaha tkenal yang juga
seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas
perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya,
salah satu transaksi yang sangat popular adalah salam, yaitu menjual barang
yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada
waktu akad disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat
mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui
dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jemis komoditi, mutu, dan
kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan persyaratan bahwa
komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal
pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut
merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.[11]
Disamping itu, Abu Hanifah mempunyai perhatian yang besar
terhadap orang-orang yang lemah. Ia tidak akan membebaskan kewajiban zakat
terhadap perhiasan dan sebaliknya, membebaskan pemilik harta yang dililit utang
dan tidak sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak
diperkenankan pembagian hasil panen (muzara’ah) dalam kasus tanah yang tidak
menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang
umumnya adalah orang-orang lemah.
c.
Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema
pemikiran ekonomi islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang
ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yan dikirimkannya kepada penguasa
dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang
membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab
al-Kharaj.[12]
Kekuatan utama pemkiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan public. Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban
Negara islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran
tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk untuk pembanguna jangka
panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali
saluran-saluran besar dan kecil.
d.
Muhammad bin
Hasan Al-Syaibani
Salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam mazhab hanafiyah
adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Risalah kecilnya yang berjudul
al-Ikhtisab fi ar-Rizq al-Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah
tangga. Ia juga menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta
keutamaan orang yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. Al- Syaibani
mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijarah
(sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah
(industri). Cukup menarik untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai
lapangan pekerjaan yang terbaik, padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih
tertarik untuk berdagang dan berniaga. Dalam suatu risalah yang lain, yakni
Kitab al-Asl, Al-Syaibani telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi
hasil.[13]
e.
Ibnu Miskawih
(w. 421 H/1030 M)
Salah satu pandangan Ibnu Miskawih yang terkait dengan
aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa
manusia merupakan makhluk social dan tidak bisa hidup sendiri. Ia juga
menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang
dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah
dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan fakta orang senang melihatnya.[14]
4.
Fase Kedua
a.
Al –Ghazali
(451-505 H/1055-1111 M)
Al-Ghazali memberikan nasihat kepada para penguasa agar
selalu memerhatikan kebutuhan rakyatnya serta tidak berperilaku zalim terhadap
mereka. Ketika rakyat mengalami kekurangan dan tidak ada jalan untuk memperoleh
penghasilan hidupnya, penguasa wajib menolong dengan menyediakan makanan dan
uang dari perbendaharaan Negara. Dalam hal pajak, Al-Ghazali bisa menoleransi
pengenaan pajak jika pengeluaran untuk pertahanan dan sebagainya tidak
tercukupi dari kas Negara yang telah tersedia. Bahkan, jika hal yang demikian
terjadi, Negara diperkenankan melakukan peminjaman.[15]
Al-Ghazali juga mempunya wawasan yang sangat luas mengenai
evolusi pasar dan peranan uang. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba
fadhal, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka
yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan
pertukaran.
b.
Ibnu Taimiyah
(w. 728/1328 M)
Ibnu Taimiyah
yang bernama ibnu Taqiyuddin Ahmad Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22
januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). ia brasal dari keluarga yang
berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab
Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Berkat
kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda
telah mampu menempatkan sejumlah mata
pelajaran, seperti tafsir, hadis, fiqih, matematika, dan filsafat, serta
berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibn
Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad
bin Abu Al-Khair, Ibn Abu Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.[16]
Ketika umur 17
tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi
kepercayaan oleh gururnya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa.
Pada saat bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalaman
ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan
menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya
tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak
tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu
Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata.sejarah mencatat
bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak
empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya. Selama dalam
tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar.
Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil
pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu
Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 september 1328 M (20
Dzul Qaidah) 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima
bulan.
A.
Pemikiran
Ekonomi
Pemikiran
ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya antara lain
Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-syar’iyyah fi ishlah ar-Ra’I wa
ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1.
Harga yang
Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a.
Harga yang Adil
Ibnu Taimiyah
merupakan orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap
permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan
harga, ia sering kali mengunakan dua istilah, yakni kompensasi yang setara
(‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsman al-mitsl). Ia menyatakan
“kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan
inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl).”[17]
Ditempat lain,
ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang
serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara
sebagai harga yang adil. Oleh karena itu ia menggunakan istilah ini secara
bergantian.
Menurut Ibnu
Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relative merupakan sebuah fenomena
yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang
setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta
dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dan ia juga menjelaskan
bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang
berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan
penawaran.
·
Konsep Upah
yang adil
Pada abad pertenganhan, konsep
upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada
para pekerja sehingga mereke dapat hidup secara layak ditengah-tengah
masyarakat. Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah
menjelaskan, “upah yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui
jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam
kasus jual atau sewa, harga yang telah diketahui akan diperlakukan sebagai
harga yang setara.”
·
Konsep laba
yang Adil
Berdasarkan defenisi tentang harga
yang adil, Ibnu Taimiyah mendefenisikan laba yang adil sebagai laba normal yang
secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang
lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidal lazim, bersifat eksploitasi
dengan memanfaatkan ketidak pedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang
ada. Para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat
diterima secara umumtanpa merusak kepentingan para pelanggannya.
·
Relevansi
Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil bagi Masyarakat
Menurut Ibnu Taimiyah, adil bagi
para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual
pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka.
Menurutnya “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka milki. Tidak ada
seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun separuhnya, tanpa izin
dan peersetujuan mereka.”
b.
Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah
memiliki sebuah pemahaman yang jelas tenteng bagaimana, dalam suatu pasar
bebas, harga yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia
mengemukakan,
“naik dan turunnya
harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang,
hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor
barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan
penawaran turun, harga-harga naik. Disisi lain, apabila persediaan barang
meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau
kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa
jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang ia
juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang
telah menciptakan keinginan di hati manusia.”
Ia
menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi local dan impor barang-barang
yang diminta (mayukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al- matlub). Untuk
menggambarkan permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah
raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat
merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah
pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply
digambarkan sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang
yang disebabkan olek dua faktor, yakni
produksi local dan impor.[18]
Ibnu Taimiyah
mencatat beberapa factor yang mempengaruhi permintaaan serta kosekuensinya
teerhadap harga, yaitu:
1)
Keinginan
masyarakat terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
2)
Jumlah para
peminat (tullab) terhadap suatu barang.
3)
Lemah atau
kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan
ukuran kebutuhan.
4)
Kualitas
pembeli.
5)
Jenis uang yang
digunakan dalam transaksi.
6)
Tujuan
transaksi yang menghendaki adanya kepemilikanresiprokal diantara kedua belah
pihak.
7)
Besar kecilnya
biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
c.
Regulasi Harga
Tujuan
regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat. Dan ketika dalam keadaan
darurat, seperti terjadi bencana kelaparan, Ibnu Taimiyah merekomendasikan
kepada pemerintah agar melakukan penetapan harga serta memaksa para
pedagang untuk menjual barang-barang
kebutuhan dasar, seperti bahan makanan.[19]
Ia menyatakan :
“Inilah saatnya bagi
penguasa untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang adil
ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika memiliki kelbihan
bahan makanan sementara masyarakat
menderita kelaparan, pedagang akan dipaksa untk menjual barangnya pada
tingkat harga yang adil.”
Dalam
melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara para pedagang lokal yang
memiliki persediaan barang dengan para importir. Dalam hal ini, para importir
tidak boleh dikenakan kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk
menjual barang dagangannya seperti halnya rekanan importir mereka. Penetapan
harga akan menimbulkan dampak yangmerugikan persediaan barang-barang impor
mengingat penetapan harga tidak diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia
di tempat itu, karena akan merugikan para pembeli.
1) Pasar yang Tidak Sempurna
Disamping
dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada
pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidak
sempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arabab
al-sila’) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih
tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rufah) dan pada saat yang
bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta
untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata
dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan
barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus
menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang
monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena
akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.[20]
2) Musyawaarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum
menerapakan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus
melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“imam
(penguasa) harus menyelanggarakan musyawarah dengan para tokoh yang merupakan
wakil dari para pelaku pasar (wujuh ahl al-suq). Anggota masyarkat lainnya juga
diperkenankan menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan
pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan penyelidikan terhadap
pelaksanaan transaksi jual-beli mereka, pemerintah harus meyakinkan mereka pada
suatu tingkat harga yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga mereka
menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin
mereka.”
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus,
Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai
dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda.[21]
Ia menyatakan,
“ Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang)
dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang
dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui, dan
uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah
menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang
yang sangat banyak. Ia mengatakan,
“penguasa seharusnya mencetak fulus (mata
uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional)
atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.”
Pernyataan
tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Tamiyah memiliki beberapa pemikiran tentang
hubungan antara jumlah uang, total volume transaksi dan tingkat harga.
c. Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang
berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal sebagai berikut:
“apabila
penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang
yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang
memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia
berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula
mereka miliki. Lebih daripada itu. Apabila nilai intrinsic mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk
mengumpulkan uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan
kemudian mereka akan membawanya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata
uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan
demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.”[22]
Pada
pernyataan tersebut , Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas
masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur
memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagai mata uang, berarti hanya akan diperlakukan sebagai barang biasa yang
tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata
uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat
akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.
c.
Al-Maqrizi (845
H/1441 M)
Al-Maqrizi
melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi
secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Selain kelangkaan
pengan secara alami oleh kegagalan hujan, Al-Maqrizi mengidentifikasi tiga
sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban
pajak yang berat terhadap para penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.
Berbicara tentang sebab yang ketiga ini, Al-Maqrizi menegaskan bahwa uang emas
dan perak merupakan satu-satunya mata uang yang dapat dijadikan standar nilai
sebagaimana yang telah ditentukan syariah, sedangkan penggunaan fulus sebagai
mata uang dapat menimbulkan kenaikan harga-harga. Menurut Al-Maqrizi, fulus
dapat diterima sebagai mata uang jika dibatasi penggunaannya, yakni hanya untuk
kperluan transaksi yang berskala kecil.
5.
Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi
fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase
ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya
menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai
dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Namun demikian, terdapat
sebuah gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembli
kepada Al Qur’an dan Hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup. Tokoh-tokoh
pemikir ekonomi islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah
(w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani (w. 1315 H/1897), Muhammad Abduh (w.
1320 H/1905 M), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).[23]
C.
Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Beberapa ekonom memberikan penegasan bahwa ruang lingkup
dari ekonomi Islam adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim sendiri.
Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara Muslim di
mana nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan. Namun, pendapat lain tidak
memberikan pembatasan seperti ini, melainkan lebih kepada penekanan terhadap
perspektif Islam tentang masalah ekonomi pada umumnya. Dengan kata lain, titik tekan
ilmu ekonomi Islam adalah pada bagaimana Islam memberikan pandangan dan solusi
atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat manusia secara umum. [24]
1.
Islam sebagai
Sistem Kehidupan
Aktivitas
dan perilaku ekonomi tidak terlepas dari karakteristik manusianya. Pola
perilaku, bentuk aktivitas, dan pola kecederungan terkait dengan pemahaman
manusia terhadap makna kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan islam bahwa
kehidupan manusia dimana merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan
Allah kepada setiap makhluk-Nya untuk nanti dimintai pertanggungjawabannya di
akhirat kelak.[25]
Telah menjadi suatu ketapan (kodrat) dan kehendak (iradat) Allah bahwa manusia
diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan hidup agar dapat menjalani
kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini
sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui para
Nabi dan Rasul-Nya dan disempurnakan ajarannya melalui Nabi terakhir, yaitu
Muhammad Saw adalah suatu system kehidupan yang bersifat integral dan
komprehensif mengatur semua aspek kehidupan manusia agar mencapai kehidupan
yang sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah Swt
dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 132 :
4Ó»urur !$pkÍ5 ÞO¿Ïdºtö/Î) ÏmÏ^t/ Ü>qà)÷ètur ¢ÓÍ_t6»t ¨bÎ) ©!$# 4s"sÜô¹$# ãNä3s9 tûïÏe$!$# xsù £`è?qßJs? wÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÌËÈ
Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah
kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
2.
Perbandingan
Sistem Ekonomi
a.
Sitem ekonomi
Sistem ekonomi suatu Negara didasarkan atas seberapa
jauh institusi kepemilikan, insentif dan pembuat keputusan mendasari semua
aktivitas ekonomi.[26]
Persoalan bidang ekonomi adalah membahasa seputar barang yang seharusnya
dihasilkan, cara menghasilkan barang tersebut menggunakan teknologi padat modal
atau padat karya, untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan cara
mendistribusikan barang tersebut kepada masyarakat.
Dengan memahami pengertian dari system ekonomi
tersebut maka kita dapat mengklasifikasikan sistem yang dianut suatu masyarakat
atau Negara. Namun karena tingkat kompleksitas bidang ekonomi, tak ada satu pun
Negara atau masyarakat yang ekstrim menggunakan atau menganut satu sitem
ekonomi secara mutlak, hanya menunjukkan kecondongan untuk mendekati ke kutub
yang mana. Terdapat kecenderungan umum bahwa sistem ekonomi di suatu Negara
bergandengan tangan secara erat dengan system politik Negara-negara tersebut.
Ideology politik berkaitan dengan ideology ekonomi.
b.
Sistem Ekonomi
Kapitalis
Kapitalisme sebagai system ekonomi mucul pada abad
ke-16, yang didorong dengan munculnya industri sandang di Inggris. Perkembangan
industry sandang di Inggris di dukung oleh bahan baku wol yang diproduksi di
dalam negeri. Kapitalisme berkembang ketika terjadi revolusi industry di
Inggris yang ditandai dengan peralihan dari dominasi modal perdagangan di atas
modal bagi industry menuju kearah dominasi modal industry atas modal perdagangan.
Proses terjadinya cepat dan akhirnya muncullah Adam Smith yang dikenal sebagai
bapak kapitalisme. Jiwa kapitalisme terlihat jelas pada egoisme, bebas menumpuk
harta kekayaan, mengembangkan dan membelanjakan.
Berikut cirri-ciri system ekonomi kapitalis.
1)
Kebebasan memiliki
harta secara perorangan.
2)
Persaingan bebas.
3)
Kebabasan Penuh.
4)
Mementingkan diri
sendiri.
5)
Harga sebagai
penentu.
6)
Campur tangan
pemerintah minimum.
c.
Sistem Ekonomi
Sosialis
Kutub lain dari
system ekonomi kapitalis adalah system ekonomi sosialis. Lahirnya system
ekonomi marxisme atau sosialisme pada mulanya dimaksudkan untuk meperbaiki
kehidupan masyarakat yang menderita akibat akumulasi modal kapitalisme.
Munculnya system ini diawali dengan terjadinya kelesuan berkepanjangan
(malaisse) ekonomi pada awal abad ke-20 dan tidak munculnya mekanisme pasar
yang dijanjikan kepitalisme. Kelesuan ditandai dengan terjadinya pengangguran
yang berkelanjutan dan meningkatnya kesengsaraan masyarakat, sementara
kapitalis semakin menumpuk kekayaan. System sosialis ini yang dirumuskan oleh
Karl Marx.
Cirri-ciri system ekonomi sosialis.
1)
Kepemilikan harta
dikuasai Negara.
2)
Setiap individu
memiliki kesamaan kesempatan dalam melakukan aktivitas ekonomi.
3)
Disiplin politik
yang tegas.
4)
Tiap warga Negara
dipenuhi kebutuhan pokoknya.
5)
Proyek pembengunan
individu dilaksanakan Negara.
6)
Posisi
tawar-menawar individu terbatas.
d.
System Ekonomi
Islam
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme menciptakan
kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu, Negara-negara
Muslim sangat membutuhkan suatu system yang lebih baik yang mampu memberikan
semua elemen berperan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan umat
manusia sejati.
System ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada
ketentuan Al-Quran dan Sunnah, berisi tentang nilai persaudaraan, rasa cinta,
penghargaan kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun system ekonomi islam meliputi
antara lain:
1)
Mengakui hak milik
individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2)
Individu mempunyai
perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing.
3)
Adanya jaminan
social dari Negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok
manusia.
4)
Mencegah
konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.
5)
Melarang praktik
penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
6)
Melarang praktik
asocial (mal bisnis).
Apabila kita kaji dalam Al Quran dan sunnah Rasul
sebagai sumber inspirasi maka tujuan ekonomi dalam islam dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1)
Membangun
kehidupan umat manusia yang adil dan merata, dengan memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada umat manusia untuk berjreasi dalam rangka meningkatkan
taraf hidupnya.
2)
Mewujudkan
kehidupan ekonomi yang serasi, ersatu, damai, dan maju dalam suasa kekeluargaan
dengan sesame umat manusia, serta menghilangkan nafsu menguasai, menumpuk
harta, dan menindas yang lemah.
3)
Membangun
peradaban eknomi yang tidak menimbulkan kerusakan di Bumi.
4)
Membangun
kehidupan ekonomi umat manusia yang makmur dan selalu mendorong untuk lebih
maju dengan jalan untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas.
5)
Membangun
kehidupan ekonomi umat manusia yang stabil dengan jalan mencegah inflasi,
depresi, dan stagnasi.
6)
Membangun
kehidupan ekonomi yang merdeka dan menumbuhkan sikap kebersamaan.
7)
Mewujudkan
kehidupan ekonomi umat manusia yang mandiri, tanpa adanya ketergantungan dengan
kelompok tertentu yang berkuasa.
e.
Komparasi Teori
dan Sistem Ekonomi
Kendati semua ekonom mengenal dan mengagungkan ajaran
Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations, hanya sedikit yang mencermati
secara teliti. Dalam nuku Wealth of Nations, yang diterbitkan Oxford University
Press, tahun 1993, Adam Smith mengutip perjalanan Doktor Pocok yang menjelaskan
rahasia kesuksesan para pedagang Arab. Tepatnya, ia menulis, “ketika mereka
memasuki kota, mereka mengundang orang-orang di jalan, baik kaya maupun miskin,
untuk makan bersama dengan duduk bersila. Mereka memulai makan dengan mengucap
bismilah dan mengakhiri dengan ucapan hamdallah.”
Apabila dicermati lebih dalam buku The Wealth of
Nation diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwal yang bahasa
inggrisnya The Wealth karangan Abu Ubaid (838 M). banyak dari teori ekonomi
modern yang merupakan inspirasi dari pemikiran ekonomi Islam. Beberapa system
ekonomi dari masyarakat muslim yang ditiru barat antara lain adalah syirkah
(serikat dagang), suftaja (bill of exchange), hiwala (letter of credit), dar-ut
Tiraz (BUMN), ma’una (bank swasta).[27]
Dengan mengkaji dan kempelajari seimbang antara
literature Islam dengan literature barat akan meningkatkan pemahaman kita bahwa
sangat besar peran pemikir ekonomi Islam terhadap inspirasi para pemikir barat.
Hal tersebut menjadikan kita tidak perlu terkesima dengan teori-teori barat
yang sering kita agungkan berlebihan, disamping akan menambah pengakuan peran
pemikir ekonomi Islam terhadap kemajuan ekonomi modern dewasa ini.
Berdasarkan penjelasan diatas sehrusnya system ekonomi
Islam merupakan system ideal dan terbak secara normative, tetapi realita
menunjukkan bahwa pada abad ini perwujudan tersebut tidak berhasil. Hal ini
disebabkan karena umat Islam sendiri masih meragukan system ekonomi Islam
karena terpesone dengan kehebatan system ekonomi lain.
G.H Jensen seorang nonmuslim dan bukan ahli ekonomi
dalam bukunya Islam Militan, bahwa sejak 1960-1970-an sudah ada ratusan jilid buku ditulis oleh para sarjana Pakistan,
Syria, Mesir, dan dunia Islam lainnya tentang teori ekonomi Islam yang langsung
dipraktikan, sesungguhnya memang benar. Tetapi Jensen mempertanyakan
masalahnya, mengapa hingga saat ini teori ekonomi Islam itu tidak dipraktikkan.
Jensen menjawab sendiri, bahwa para pemimpin dunia Islam belum mempunya
“Political Willing.”
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,
2010.
P3EI. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Rivai, Veithzal dkk. Islamic Economics. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2009.
http://maz-adul.blogspot.com,ekonomi-islam.html,
diakses, 17/09/2013, pkl 20:28 wib
[1]
Veithzal Rivai dkk, Islamic Economics
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 11
[2]
Ibid.,h. 12
[3]
http://maz-adul.blogspot.com,ekonomi-islam.html, 17/09/2013,
pkl 20:28 wib
[4]
P3EI, Ekonomi Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h.97-89.
[5]
Ibid.,h.99.
[6]
Ibid.,h.101-102.
[7]
Ibid.,h.102.
[8]
Ibid.,h.104.
[9]
Ibid.
[10]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h.13.
[11]
Ibid.,h.14.
[12]Ibid.,h.15.
[13]
Ibid.,h.16.
[14]
Ibid.,h.17
[15]
Ibid.,h.19.
[16]
Ibid.,h.351.
[17]
Ibid.,h.354.
[18]
Ibid.,h.364-365.
[19]
Ibid.,h.369.
[20]
Ibid.,h.370.
[21]
Ibid.,h.373.
[22]
Ibid.,h.376.
[23]
Ibid.,h.21.
[24]
P3EI, Op. Cit., h.17.
[25]
Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.29.
[26]
Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.30.
[27]
Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.36.